Jumat, 16 November 2012

Sumur Bandung Yang Terlupakan

Sumur Bandung
Bila seseorang ditanya:” Apa yang diingat atau dikenal dari Kota Bandung?” Kemungkinan besar jawabannya ialah:” Bandung Kota Kembang”. Atau kemungkinan lain jawaban-jawaban seperti: makanannya enak-enak, mojang Bandung cantik-cantik, Alun-alun, gedung Sate, Braga, Gunung Tangkuban Perahu, Ci Ater, Persib, ITB, Jalan Dago, THR Juanda (Dago Pakar), Gedung Merdeka. Atau mungkin ada juga yang menjawab:” Oohh… Bandung macet dan banyak sampah di mana-mana…” Punten Pa Dada…punten Pa Ayi…punteeeennn….. mudah-mudahan ke depan Bandung makin asri dan nyaman. Lagi pula ini kan baru perkiraan jawaban bisa benar bisa juga salah. Tapi satu hal yang saya yakini tidak akan ada orang yang menjawab walaupun dia penduduk Kota Bandung bahwa Kota Bandung punya sejarah ” sumur Bandung”. Kemungkinan jawaban seperti ini 1 : 1000 ( lagi-lagi perkiraan hehehe…).

Sumur Bandung yang saya maksud tentu saja bukan nama satu kecamatan di Kota Bandung. Ya, “Sumur Bandung” yang dimaksud benar-benar sumur tempat keluarnya air tanah yang sekarang terlupakan bahkan oleh penduduk asli Kota Bandung, padahal sumur ini punya keterkaitan sejarah dengan berdirinya Kota Bandung. Lalu mengapa tidak banyak orang yang tahu keberadaan sumur tua itu? Penyebabnya mungkin letak sumur itu sendiri walau berada di tengah-tengah keramaian kota tetapi letaknya di dalam gedung tertutup serta tentu saja kurangnya publikasi.


Rd.Adipati Wiranata Kusumah II

Konon menurut sejarahnya, sumur ini terbentuk ketika Raden Adipati Wiranata Kusumah II yang waktu itu menjabat sebagai Bupati Karapyak (sekarang Dayeuh Kolot) beristirahat melepas lelah di pinggir kali Cikapundung. Beliau baru saja melakukan perjalanan yang sangat jauh untuk ukuran waktu itu yang keadaannya masih berupa hutan belantara. Beliau sangat berkeinginan untuk memindahkan ibukota dari Karapyak yang sering dilanda banjir Citarum ke kawasan yang bebas banjir. Saat beristirahat itu beliu menancapkan tongkatnya tidak jauh dari tempat duduk beliau. Ketika tongkat dicabut keluar air yang sangat jernih dari lubang bekas tongkat beliau. Agar air itu tidak terbuang percuma lalu beliau bersama rombongan ponggawa membuatkan lubang untuk menampung air tersebut, yang akhirnya di kemudian hari disebut Sumur Bandung. Dan atas persetujuan Daendels ibukota Kabupaten Bandung dari Karapyak pindah ke kawasan dekat sumur tersebut, yaitu dengan dibangunnya Pendopo sebelah selatan alun-alun sekarang.


Sumur Bandung yang bernilai sejarah ini sekarang berada di dalam kawasan Gedung PLN di jalan Asia Afrika Bandung. Sekarang bagian atas sumur tersebut diberi penutup berupa cungkup terbuat dari logam berwarna keemasan dan bagian sekelilingnya di pasangi rantai pembatas. Pada salah satu sisinya terdapat sebuah prasasti yang bertuliskan :

“Sumur Bandung Mere Karahayuan ka Rahayat Bandung

Sumur Bandung Mere karahayuan ka Dayeuh Bandung

Sumur Bandung Kahayuning Dayeuh Bandung

Ayana di Gedung PLN Bandung.”

Bandung 25 Mei 1811

Raden Adipati Wiranata Kusumah II

Sekarang kadang-kadang ada juga orang terutama dari luar kota datang untuk mengambil airnya karena dianggap mempunyai kekuatan atau keramat. Satu keistimewaan sumur ini selain airnya sangat jernih, di musim kemarau pun air sumur tetap melimpah. Mungkin juga air sumur ini tidak pernah kering karena letaknya di pinggir sungai Cikapundung. Wallahualam.

Stasiun Radio Malabar Sejarah Yang Terlupakan

PEMANCAR stasiun Radio Malabar didirikan oleh dr de Groot pada Mei 1923
 Reruntuhan komplek  Stasiun Radio Malabar di Gunung Puntang 
PEMANCAR stasiun Radio Malabar didirikan oleh dr de Groot pada Mei 1923 di zaman Hindia Belanda. Konon, stasiun ini memiliki antena yang digunakan untuk memancarkan sinyal radio memiliki panjang 2 kilometer, membentang di antara gunung Malabar dan Halimun dengan ketinggian dari dasar lembah mencapai 500 meter. Antena pemancar itu digunakan sebagai komunikasi langsung dengan pihak Belanda yang berjarak sekitar 12 ribu kilometer. Letaknya yang dikelilingi pohon pinus dan berada sekitar 1.200 meter di atas permukaan laut membuat bangunan itu menjadi tempat yang strategis untuk melakukan komunikasi pada zamannya.
Di antara puing-puing bangunan itu ada beberapa nama yang dahulunya bertugas menjalankan pemancar tersebut. Seperti Mr Han Moo Key, Mr Nelan, Mr Vallaken, Mr Bickman, Mr Hodskey, Ir Ong Keh Kong, serta masyarakat setempat. Kata "halo Bandung" yang dijadikan lirik lagu oleh Ismail Marzuki juga berawal dari siaran stasiun Radio Malabar ini.
Kawasan Radio Malabar ini ditemukan seorang penduduk, Utay Muchtar, setelah bertahun-tahun tidak ada yang mengetahuinya. Saat ditemukan, bangunan stasiun radio itu tinggal puing-puing. Diperkirakan akibat serangan yang dilakukan Jepang, untuk merebut kekuasaan Belanda.
Letak Radio Malabar berada di wilayah Bandung selatan tepatnya di daerah Gunung Puntang, hingga sekarang bukti keberadaan Radio Malabar masih bisa kita nikmati, namun sayang bukti itu hanya tersisa puing puingnya saja, dan sangat tidak terawat.
Banyak orang yang tidak tahu tentang sejarah Radio Malabar tersebut, padahal itu merupakan sejarah bangsa indonesia.
Kawasan Bandung Selatan ternyata benar-benar menjadi surga bagi para wisatawan. Bukan hanya keindahan alam dan geografinya yang menjadi daya pikat, sejarah yang tersimpan di sana pun ternyata menjadi sesuatu yang dicari.
Ya, Bandung Selatan ternyata banyak menyimpan sejarah. Dari daerah Bandung Selatan ini tonggak sejarah bangsa Indonesia banyak dilahirkan. Namun hal ini tidak disadari banyak oleh masyarakat. Bukan itu saja, pemerintah pun berlaku seperti itu, Bandung Selatan hanya dijadikan bagian dari sejarah.
Perlu diketahui, dari daerah Bandung Selatan inilah sejarah teknologi radio atau radio gelombang pendek lahir dan menghubungkan dua negara dari dua benua. Dulu, di Bandung Selatan khususnya di Gunung Puntang Kec. Banjaran, pernah berdiri Stasiun Malabar yang sempat terkenal di masa penjajahan kolonial Belanda dan Jepang. Gunung Puntang yang masuk kawasan kaki Gunung Malabar ini, memang menawarkan sejuta keindahan bagi pengunjung.
Tidak hanya menawarkan wisata alam yang menyejukkan hati, di kawasan ini juga terdapat objek wisata sejarah peninggalan bangsa Belanda yang cukup unik. Sayang kondisinya kini sudah tidak utuh lagi dan hanya tinggal reruntuhannya. Pada 1923, area ini merupakan lokasi yang sangat terkenal di dunia karena terdapat stasiun pemancar radio Malabar yang dirintis Dr. de Groot. Sebuah pemancar radio yang sangat fenomenal karena antena yang digunakan memiliki panjang 2 km, membentang di antara gunung Malabar dan Halimun, dengan ketinggian dari dasar lembah mencapai 500 meter. Sulit untuk dibayangkan, bagaimana mereka membangunnya dengan teknologi yang ada pada masa tersebut.

Pada bagian dasar lembah, dulu terdapat bangunan yang cukup besar yang berfungsi sebagai stasiun pemancar guna mendukung komunikasi ke negeri Belanda yang berjarak 12.000 km dari Indonesia. Uniknya, bagaimana bangsa Belanda bisa mendapatkan lokasi yang sangat ideal, karena arah struktur antena tersebut memang menuju negara Kincir Angin tersebut. Terlebih tempat ini cukup tersembunyi, sehingga jauh dari jangkauan Jepang dan rakyat Indonesia, yang kala itu sangat membenci Belanda.

Stasiun ini murni pemancar, sedangkan penerimanya ada di Padalarang (15 km) dan Rancaekek (18 km). Untuk listriknya, Belanda kemudian membangun pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di daerah utara Kota Bandung (Dago), PLTU di Dayeuhkolot, dan PLTA di Pangalengan, lengkap dengan jaringan distribusinya, hanya untuk memenuhi kebutuhan pemancar radio tersebut.
Pasalnya, teknologi yang digunakan untuk memancarkan sinyal radio itu masih menggunakan teknologi yang boros energi (tenaga listrik). Pemancar ini antara lain masih menggunakan teknologi kuno, yaitu busur listrik (poulsen) untuk membangkitkan ribuan kilowatt gelombang radio dengan panjang gelombang 20 – 7,5 km.
Konon menurut catatan sejarah kuncen Bandung, Haryoto Kunto, gedung pemancar ini bentuknya sangat cantik di masa itu. Sayangnya, saat ini hanya tersisa beberapa potong tembok saja, karena struktur bangunannya yang terbuat dari separuh kayu dan separuh tembok. Selain sepotong sisa bangunan tadi, ada juga sisa struktur dinding kolam yang saat ini dikenal dengan nama Kolam Cinta, karena memang bentuknya mirip hati. Ada kepercayaan di masyarakat setempat, jika sejoli berpacaran di lokasi ini akan membawa dampak bagi kelangsungan hubungan mereka. Yaitu jika mereka mau mencuci muka atau mandi di kolan cinta tersebut. Kalau mau mendaki ke atas, sisa-sisa antena juga masih bisa dilihat di lereng gunung.
Selain bangunan utama berupa stasiun radio pemancar, pada area Gunung Puntang ini juga terdapat perkampungan yang dihuni awak stasiun pemancar, dengan fasilitas cukup lengkap. Dulunya, perkampungan yang dikenal dengan nama Kampung Radio (Radio Dorf) oleh masyarakat ini, juga dilengkapi dengan rumah-rumah dinas petugas, lapangan tenis, bahkan gedung bioskop juga konon tersedia di masa tersebut.

Adapun para pejabat yang menempati rumah dinas saat itu, di antaranya Han Moo Key, Nelan, Vallaken, Bickman, Hodskey, Ir. Ong Keh Kong, dan tiga orang putra bangsa, yaitu Djukanda, Sudjono, dan Sopandi. Seluruh fasilitas tersebut diperuntukkan bagi orang-orang Belanda yang memang tinggal di perkampungan radio tersebut. Lokasi jelasnya perkampungan radio ini, yakni berada di area bumi perkemahan Gunung Puntang (sekarang) Kec. Banjaran, Kab. Bandung dengan koordinat global positioning system (GPS) S007.111433 – E107. 602583 dengan ketinggian dari permukaan laut 1.290 meter.
Goa

Selain stasiun pemancar radio, di kawasan ini ditemukan pula sebuah gua peninggalan Belanda. Gua ini bisa ditelusuri dengan mudah, meskipun cenderung becek pada bagian dalamnya. Mulut gua ini cukup tersembunyi, di antara lekukan tanah yang bila diperhatikan secara sekilas mirip wajah harimau.
Menurut cerita masyarakat setempat, lorong gua ini akan menuju sebuah curug (air terjun, red) yang dikenal dengan sebutan Curug Siliwangi. Lorong gua tersebut kurang lebih panjangnya 1 km. Dan siapa pun yang berhasil menyusuri lorong gua sampai Curug Siliwangi, konon akan mendapatkan sesuatu yang merupakan peninggalan Prabu Siliwangi. Namun sampai kini, belum ada bukti dari cerita tersebut.

Nasibmu Kini Reruntuhan komplek Stasiun Radio Malabar di Gunung Puntang, Kecamatan Cimaung, Kabupaten Bandung, (31/3). Stasiun radio yang menghubungkan Bandung dengan Denhaag dibangun di masa penjajahan Belanda.

Sekilas Tentang Sejarah Museum Geologi Bandung

Museum geologi merupakan museum yang menyediakan berbagai macam informasi mengenai aspek kebumian satu-satunya yang ada di Indonesia,dan mungkin yang terlengkap di kawasan Asia Tenggara. Sejarah museum geologi bandung berkaitan erat dengan sejarah penyelidikan geologi dan pertambangan di Indonesia yang telah dimulai sejak abad ke 17. untuk mewadahi penyelidikan tersebut, pemerintah belanda membentuk suatu badan yang bernama "Diens van het Mijnwezen" pada tahun 1850. Tahun 1922, lembaga ini berubah menjadi "Diens van het Mijnbouw". Dalam perkembangannya, lembaga tersebut memerlukan tempat menyimpan hasil analisis dan penyelidikan. Maka, dibangunlah gedung untuk lembaga tersebut yang terletak di Rembradnt Straat (sekarang Jalan Diponegoro bandung).

Pada pertengahan tahun 1928, gedung lembaga ini mulai dibangun, kemudian diresmikan pada anggal 16 mei 1929. bangunan ini dirancang dengan gaya Art Deco oleh Ir.Menalda van Schouvbug, seorang arsitek berkebangsaan Belanda. Bertepatan dengan pembukaan kongres-IV ilmu Pengetahuan Pasifik yang di selenggarakan di Institut Teknologi Bandung. Pembangunan gedung ini menelan biaya sekitar 400 Gulden dengan 300 orang pekerja. Gedung ini pun di fungsikan sebagai perkantoran yang dilengkapi dengan sarana laboratorium geologi dan museum untuk menyimpan dan memperagakan hasil penelitian geologi dan kebumian. Gedung ini pun di beri nama "Geologisch Laboratorium" kemudian lebih dikenal dengan "Geologisch Museum"

Berbagai koleksi yang berhasil disusun oleh para ahli geologi semakin berkembang, baik berupa fosil maupun batuan, melalui kegiatan survei maupun sumbangan dari tukar menukar dengan pihak luar negeri. Puncaknya pada tahun 1934-1935 para ahli berhasil mendapatkan rekonstruksi fosil vertebrata seperti Stegodon Trigonocephalus, Rhinoceros Sondaicus, Bubacus Palaeokerabau, dan Hipopotamus Sivalensis, yang kemudian melengkapi koleksi Museum Geologi Bandung.
Museum Geologi pun tidak lepas dari sejarah perkembangan dunia, saat perang dunia ke-2 sekitar tahun 1941, perkembangan museum terkena dampak langsung. Gedung tersebut dijadikan markas Angkatan Udara oleh Belanda. akibatnya berbagai koleksi dipindahkan ke Gedung Pensioen Fonds (Gedung Dwiwarna) dan tak sedikit koleksi yang rusak maupun hilang.

Pada masa pendudukan jepang 1942, Museum Geologi difungsikan kenbali dengan nama "Kogyo Zimusho" kemudian berganti menjadi "Chisitsu Chosasho". Sayangnya pengelolaan museum kurang mendapat perhatian, bahkan terkesan diabaikan. Keadaan seperti ini terus berlangsung selama perang kemerdekaan. Usai kemerdekaan Republik Indonesia, Museum Geologi mulai bergeliat. Tepatnya pada 22 Februari 1952, saat museum geologi dikelola Djawatan Pertambangan Republik Indonesia, penataan dimulai kembali. Namun penataan secara meyeluruh baru dilakukan pada tahun 1998, melalui kerjasama pemerintah RI dengan Jepang. Museum geologi pun sempat ditutup hingga tahun 2000 dan pembukaan secara resmi Museum Geologi seperti sekarng dilakukan pada Agustus 2000 oleh Wakil Presiden saat itu Megawati Soekarnoputri.

Lokasi : Jalan Diponegoro no.57, Cihaurgeulis, Kec.Coblong, Kota Bandung
Pengelola : Dirjen Geologi dan Sumberdaya Mineral
Fasilitas :Ruang peraga, ruang geologi, ruang sejarah kehidupan, ruang geologi dan kehidupan manusia, ruang edukasi dan auditorium, ruang dokumentasi
Jam Buka :
Senin-kamis pukul 9.00 - 15.30
Sabtu-minggu pukul 9.00 - 13.30
Jumat dan Hari Libur Nasional - Tutup